Minggu, 01 Januari 2012

Uang sesungguhnya, Dinar


Dari berbagai penjealasan, studi kasus dan analisis yang telah dijabarkan diatas tentang Prospek Penerapan Dinar sebagai Alat Tukar. Maka penulis menarik kesimpulan dari beberapa sudut pandang, yaitu menggunakan kacamata Keimanan pada Kitab Suci Al-Qur’an, As-Sunnah, dari bukti sejarah, pendapat Ekonom Muslim serta Ekonom Barat.
              
               Berdasarkan Keimanan terhadap pedoman yang di karuniakan Allah kepada hamba-Nya, difirmankan oleh-Nya dalam Qur’an Surat Al-baqarah ayat 275 ”.. Padahal Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba..” dan ayat 276 “Allah memusnahkan riba…”
              
               Maksud dari kedua ayat diatas adalah dengan Dinar-lah sektor riil atau yang biasa dikenal dengan transaksi jual beli akan berkembang sedangkan uang kertas sebagai pangkal dari riba yang telah diharamkan oleh Allah akan musnah.
              
               Sunnah yang di lakukan oleh Uswatun Hasanah umat Manusia, Rasulullah Muhammad SAW. tentang penggunaan Dinar terdapat pada hadits berikut :
Ali bin Abdullah menceritakan kepada kami, Sufyan menceritakan keapda kami, Syahib bin Gharqadah menceritakan kepada kami, ia berkata : saya mendemngar penduduk bercerita tentang ‘Urwah bahwa Nabi SAW. memberikan uang satu Dinar kepadanya agar dibelikan seekor kambing untuk beliau, lalu dengan uang tersebut ia membeli dua ekor kambing kemudian ia jual satu ekor kambing dengan harga satu Dinar. Ia pulang membawa satu Dinar dan satu  ekor kambing. NAbi SAW. mendo’akan dengan keberkatan dalam jual belinya. Seandainya ‘Urwah membeli tanahpun, ia pasti beruntung”  (Hadits Riwayat Bukhari)
              
               Berdasarkan sejarah, sudah terbukti bahwa selama 7 abad (dari abad 13 sampai 20), Dinar dan Dirham adalah mata uang yang paling luas digunakan. Apabila ditambahkan dengan masa kejayaan Islam sebelumnya yaitu mulai dari awal kenabian Rasulullah SAW. (610 M)  maka secara keseluruhan Dinar dan Dirham adalah mata uang yang paling modern yang dipakai paling lama dalam sejarah umat manusia yaitu selama 14 abad yaitu dari awal Kenabian (sekitar abad ke-7) sampai abad ke-20.
              
               Pada kesimpulan dalam disertasnya Dr. Herald Hass seorang doktor lulusan Universitat Bremen menyatakan, “Perbaikan besar akan terjadi bila – secara sengaja ataupun tidak uang-uang fiat besar hancur (collapse)—maka bisa diperkenalkan kembali konsep gold standard. Hal ini akan mengatasi kelemahan mendasar dari praktek yang dilakukan dalam sistem fractional reserve banking dengan menghilangkan sama sekali uang fiat. Secara histories peuang kembali ke gold standard akan sangat besar. Di dunia e-commerce deawasa ini, uang elektronik akan dapat dengan mudah didukung dengan emas secara fisik” [1]
              
               Bagi umat Muslim yang memiliki Kisah Suksesnya Islam bersama Dinar dan Dirham pada masa-masa Kekhalifahan Dinasti Bani Umayyah dan Abasiyah. Juga seperti dikatakan oleh Imad ad Deen Ahmad seorang ekonom Muslim dari Minaret of Freedom Institute “Kaun Muslimin tidak mungkin lepas dari kenyataan bahwa emas adalah mata uang kita. Bahkan bila kita berpura-pura menolaknya, toh kita harus memakainya dalam perhitungan nishab. Maka, daripada kita melawan kehendak Allah, saya mengusulkan kita menjalankannya.”
Wallahu’alam bishawab[2]

Maka kesimpulannya adalah Dinar dan Dirham yang digunakan sebagai alat tukar adalah sunatullah. Sebesar apapun usaha menggantinya dengan barang yang lain (kertas misalnya) pada akhirnya uang akan kembali menggunakan Dinar dan Dirham yang dapat menjaga nilainya sendiri, hanya tinggal tunggu tanggal ketika Dinar dan Dirham itu kembali. Sampai saat itu datang maka tak hentinya para Ekonom Muslim dan Ekonom Barat yang mengakui keperkasaan emas (Dinar) sebagai The real Money akan terus mengusahakan agar hari itu segera tiba.

Semoga Allah mengampuni ke khilafan hamba-Nya dan memberi kesempatan untuk memperbaikinya. Wallahu'alam bishawab..




[1] Muhaimin Iqbal, Mengembalikan Kemakmuran Islam dengan Dinar danDirham Op.Cit. hal 48
[2] M. Luthfi Hamidi, Op.Cit hal 381

Tidak ada komentar:

Posting Komentar